(Tulisan ini adalah karya Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki
yang berjudul ”Irsyadul
Mu'minin” yang telah saya terjemah dan saya ’takhrij’ hadis-hadisnya.
Dan telah
dicetak atas nama Lembaga Bahtsul Masail NU Sby)
Dzikir
sebagaimana boleh dilakukan secara lirih, juga diperbolehkan dengan
suara
keras. Kedua-duanya memiliki keutamaan yang akan kami terangkan. Dan
keutamaan
dzikir dengan suara keras lebih sempurna.[1]
Inilah dasar
dalam menegakkan syiar dalam syariat Islam, ajaran-ajarannya dan
sunah-sunahnya, seperti dalam adzan dan iqamat, saat takbiratul ihram
dalam
salat, ritual-ritual haji dalam bentuk talbiyah, takbir, kumandang orang
yang
berhaji dengan doa, mengeraskan bacaan al-Quran saat salat Subuh dan dua
rakaat
permulaan salat Maghrib dan Isya', mengeraskan tasbih dan tahlil saat
keluar
pada dua hari raya. Kesemuanya itu
sudah ada di masa Nabi, para sahabat dan
tabi'in.
Membaca
dzikir dengan suara keras adalah sebuah cara untuk memperbanyak orang
berdzikir
supaya hati mereka condong untuk ikut berdzikir.[2]
Hanya
saja dianjurkan supaya tidak terlalu keras, sebagaimana firman Allah
Saw:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيْلاً ﴿١١٠﴾ (قَالَ الشَّيْخُ
اِسْمَاعِيْلُ) "فَالتَّوَسُّطُ فِيْهِ هُوَ
الْعَدْلُ وَهُوَ سَبِيْلُ اْلاِسْتِدَامَةِ
عَلَيْهِ"
Dzikir
dengan suara keras memiliki
keutamaan dari pada dengan suara lirih, sebagaimana dijelaskan dalam
hadis
(Qudsi) riwayat Mu'adz bin Anas:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ
أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اللهُ
تَعَالَى لاَ يَذْكُرُنِي عَبْدِي فِي نَفْسِهِ إِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي
مَلاَءٍ
مِنْ مَلاَئِكَتِي وَلاَ يَذْكُرُنِي فِي مَلاَءٍ إِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي
الرَّفِيْقِ
اْلأَعْلَى (رواه الطبراني)
"Rasulullah
Saw
bersabda bahwa Allah berfirman: Tidak ada hamba-Ku yang meneybut-Ku
dalam
dirinya kecuali Aku menyebutnya dalam kelompok diantara malaikat-Ku. Dan
tidak
ada yang menyebut-Ku diantara kelompok yang mulia kecuali Aku
menyebutnya dalam
kelompok malaikat yang lebih tinggi"[4](HR
al-Thabrani[5])
Dan
hadis (Qudsi) dari Ibnu Abbas:
وَحَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ
إِذَا ذَكَرْتَنِي
خَالِيًا ذَكَرْتُكَ خَالِيًا وَإِذَا ذَكَرْتَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُكَ
فِي مَلاَءٍ
خَيْرٍ مِنَ الَّذِيْنَ ذَكَرْتَنِي فِيْهِمْ (رواه البزار بسند صحيح) .
(قَالَ
الشَّيْخُ اِسْمَاعِيْلُ) "وَالذِّكْرُ فِي الْمَلاَءِ هُوَ الذِّكْرُ
جَهْرًا وَحَسْبَ الذَّاكِرَ جَهْرًا هَذِهِ الْمَنْقَبَةُ الْعَظِيْمَةُ
وَالْفَضْلُ الْمَزِيْدُ"
"Allah
berfirman: Wahai anak
Adam. Jika engkau menyebut-Ku dalam dirimu sendiri, maka Aku menyebutmu
dalam
diriku (tanpa diketahui yang lain). Dan jika engkau menyebut-Ku dalam
kelompok
yang mulia, maka Aku menyebutmu dalam kelompo yang lebih baik dari pada
kelompok yang kau sebut Aku di dalamnya" (HR al-Bazzar dengan sanad yang
sahih[6])
(Syaikh
Ismail berkata) "Yang dimaksud dengan 'Dzikir dalam kelompok yang mulia'
adalah dzikir dengan suara keras.[7] Dari
dalil-dalil dan keutamaan inilah sudah cukup untuk menjadi pegangan bagi
orang
yang berdzikir dengan suara keras."
Keutamaan Dzikir Setelah Shalat Wajib Secara
Keras
Baik
Sendiri atau Berjamaah
Keutamaan dzikir dengan suara keras tidak dibatasi oleh
waktu. Diantara waktu-waktu yang ada adalah setelah salat wajib. Maka
boleh
melakukan dzikir dengan keras setelah salat, sebagaimana riwayat Ibnu
Abbas
ini:
اِنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ
كَانَ
عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه
البخاري)
”Sesungguhnya
mengeraskan
(bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai melakukan salat wajib
sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw.”[8] Ibnu
Abbas berkata: “Saya mengetahui
yang demikian setelah mereka melakukan salat wajib dan saya mendengarnya”[9]
Ini
adalah dalil disyariatkannya dzikir secara keras
setelah salat dan keutamaannya. Dzikir ini memiliki faidah yang banyak.
Diantara yang terbesar adalah dapat melunakkan hati, mendorong untuk
mengingat
Allah dan nikmat-nikmatnya, menampakkan bentuk ibadah, khusyuk setelah
bermunajat kepada Allah, merendahkan diri kepada Allah, menghadap kepada
Allah,
dan memperlihatkan pemberian dari Allah.
Dalam
penutupnya, Syaikh Ismail berkata:
فَاحْرِصْ عَلَى هَذَا الذِّكْرِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ
الْمَفْرُوْضَاتِ وَلاَ
يَصُدَّنَّكَ عَنْهُ اِنْكَارُ بَعْضِ الْمَحْرُوْمِيْنَ وَاحْذَرْ اَنْ
تُحْرِمَ
نَفْسَكَ مِنْ اَجْرِ هَذِهِ الطَّاعَةِ وَفَضْلِهَا الْمَشْهُوْدِ وَاللهُ
تَعَالَى
لاَ يُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلاً وَاْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
وَلِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
Maka
gemarlah untuk melakukan dzikir ini setelah salat wajib lima waktu. Dan
janganlah keengganan sebagian kelompok yang melarangnya dapat
menghalangi anda
untuk melakukan dzikir di atas. Janganlah anda mengahalangi diri anda
sendiri
untuk mendapatkan pahala dan keutamaan ibadah yang dapat disaksikan
secara
nyata ini. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat
baik. Semua
amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai
niatnya
masing-masing.
[1]
Sementara hadis yang berbunyi: Khairu al-dzikri al-khafiyyu
('Sebaik-baik
dzikir adalah yang samar' HR Ahmad No 1477 dan Ibnu Hibban No 809),
maksudnya
adalah dzikir dalam hati dengan memikirkan keagungan Allah dan kebesaran
ciptaan-Nya, sebagaimana dalam Syarah Sahih Muslim (Imam Nawawi)
IX/56.
[2]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu': "Dzikir dengan suara
lirih
lebih utama daripada dzikir secara keras. Dan dzikir secara keras lebih
utama
bagi orang yang dijadikan imam dalam dzikir" (al-Dzhabi dalam Lisan
al-Mizan II/665)
[3] Ibnu
Katsir berkata: "Janganlah mengeraskan bacaan al-Quran, sebab akan
dicacimaki
oleh orang-orang musyrik. Dan jangan melirihkannya, sebab
sahabat-sahabatmu
tidak bisa mendengarnya. Ibnu Abbas berkata: Setelah Rasulullah hijrah,
maka
tidak ada halangan lagi dan beliau bisa melakukan sesuai keinginannya"
(Tafsir Ibnu Katsir V/128)
[4]
Al-Munawi berkata: "Hadis ini menjelaskan bahwa dzikir lisan secara
keras
lebih utama daripada dzikir lirih atau dzikir dalam hati" (Faidl
al-Qadir Syarh al-Jami' al-Shaghir IV/647)
[5] HR
al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 16803. al-Hafidz
al-Haitsami
berkata: Sanadnya hasan (Majma' al-Zawaid X/19)
[6] HR al-Bazzar
No 5138. Al-Hafidz al-Haitsami berkata: Perawinya adalah sahih selain
Basyar
bin Mu'adz al-Uqadi, ia perawi terpercaya (Majma' al-Zawaid X/19)
[7] Penafsiran ini sesuai dengan ahli hadis al-Hafidz
Ibnu Hajar, beliau
berkata: "Makna hadis Qudsi diatas adalah: Jika ia menyebut-Ku dalam
dirinya maka Aku menyebutnya dengan pahala yang tidak Aku perlihatkan
kepada
siapapun. Dan jika ia menyebut-Ku dengan suara keras, maka Aku
menyebutnya dengan pahala yang Aku perlihatkan kepada kelompok malaikat
yang
paling tinggi" (Fath al-Bari XIII/386)
[8] Imam
Nawawi berkata: "Riwayat ini adalah dalil sebagian ulama salaf mengenai
disunahkannya mengeraskan suara bacaan takbir dan dzikir setelah salat
wajib"
(Syarah Sahih Muslim II/260). Al-Mubarakfuri berkata: "Anjuran
mengeraskan
suara dengan takbir dan dzikir setelah setiap salat wajib adalah
pendapat yang
unggul (rajih) menurut saya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas
diatas"
(Syarah Misykat al-Mashabih III/315)
[9] HR Bukhari No 796, Muslim No 919, Ahmad No 3298, dan
Ibnu Khuzaimah No
1613. Riwayat Ibnu Abbas ini juga diperkuat oleh sahabat Abdullah bin
Zubair,
ia berkata: "Rasulullah Saw mengeraskan (yuhallilu)
kalimat-kalimat
dzikirnya setiap selesai salat" (Sahih Muslim No 1372, Ahmad No 16150
dan
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra No 3135).
0 Response to "Keutamaan Dzikir Secara Keras"
Posting Komentar